Cara mengatasi KKN(Korupsi,kolusi,nepotisme)

Pengertian KKN(Korupsi,kolusi,nepotisme)

KKN adalah suatu tindakan yang sangat merugikan bagi setiap kalangan masyarakat dan negara , dikarenakan KKN hanya menguntungkun suatu pihak tertentu yang memiliki kekuasaan berlebih sehingga orang-orang kecil dan jujur akan dirugikan .

Oleh karena setiap hal yang berhubungan dengan KKN harus cepat di hilangkan dan dihapuskan dari kebiasaan masyarakat , khususnya negara Indonesia . 

KKN sendiri adalah gabungan dari kata Korupsi , Kolusi , dan Nepotisme


1.Korupsi



Korupsi dalam bahasa Latin disebut corruptio dari kata kerja corrumpere yang memiliki banyak makna seperti busuk, merusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyuap 
Korupsi sendiri adalah suatu tindakan pejabat publik, baik politisi, pegawai negeri, yang menyalahgunakan kekuasaannya mengambil atau mengakali hak milik orang lain demi kepentingannya sepihak sehingga dapat merugikan banyak kalangan masyarakat 

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar terdiri dari beberapa unsur berikut :
  • perbuatan melawan hukum, 
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, 
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), 
  • penggelapan dalam jabatan, 
  • pemerasan dalam jabatan, 
  • ikut serta dalam pengadaan
  • menerima gratifikasi

Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan resmi untuk keuntungan pribadinya sendiri.




2.Kolusi


Kolusi adalah suatu perbuatan yang tidak jujur atau kecurangan dalam melakukan kesepakatan khusus secara diam-diam atau tersembunyi dengan melakukan penyuapan sebagai pelancar atau pelicin agar segala urusannya bisa berjalan lancar tanpa hambatan.

Contoh dari kolusi :
  • Penyuapan agar diterima menjadi PNS 
  • Penyuapan dalam mencuci nilai rapor sekolah
  • Penyuapan agar diterima di sekolah negeri favorit

3.Nepotisme


Nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang memiliki arti "keponakan" atau "cucu".
Jadi , jika disimpulkan Nepotisme adalah sikap plihkasih dengan lebih mementingkan anak, kerabat, atau orang terdekat dalam segala urusan sehingga tidak memandang nilai atau kemampuan seseorang yang tidak dekat dengannya .
Biasanya nepotisme identik dengan orang-orang besar seperti penjabat, direktur, dan sebagainya.

Contoh dari Nepotisme :
  • Seorang Gubernur mengangkat semua anggota keluarganya menjadi penjabat pemerintahan di provinsi yang dipimpinnya , sehingga tdak menilai para orang yang lebih layak berda di posisi itu.


Cara mengatasi KKN(Korupsi,kolusi,nepotisme)

Pertama, memperkuat keimanan dan budaya malu. Bagaimanapun juga, keimanan adalah benteng terbaik untuk mencegah perbuatan menipu. Karena orang yang imannya kuat takut terhadap adzab Allah dan merasa senantiasa diawasi oleh Allah meski tidak ada manusia yang melihatnya. Adapun rasa malu adalah bagian dari iman, yang tidak boleh hilang dari diri seorang mukmin. Jika orang-orang Jepang yang notabene nonmuslim saja memiliki budaya malu yang kuat, bagaimana mungkin kita di negeri ini yanbg mayoritas muslim justru ’rai gedheg’, ’muka badak’, dan tidak punya rasa malu?

Kedua, sistem penggajian yang layak.Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan fasilitas yang layak. Rasulullah saw. Bersabda, ”Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang atau pencuri!” (HR Abu Dawud). Namun ini juga bukan satu-satunya solusi, karena manusia itu cenderung untuk tidak pernah puas hingga tanah menyumpal mulutnya (yakni mati). Kita lihat sendiri, betapa banyak para pejabat yang gajinya sudah banyak tapi tetap saja melakukan korupsi.

Ketiga, pembuatan sistem, birokrasi, dan hukum yang antikorupsi dan antikolusi, misalnya hukum yang melarang segala bentuk pemberian suap ataupun hadiah (gratifikasi) kepada pejabat atau hakim.Rasulullah saw bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para pejabat adalah suht(haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).

Keempat, penghitungan kekayaan pejabat dan pembuktian terbalik. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).

Kelima, hukuman yang berat. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis, bentuk dan jumlahnya diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini lembaga hukum dan peradilan. Penentuan hukuman terhadap koruptor harus mengacu kepada tujuan syarak (maqashid asy-syari’ah), kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga koruptor akan jera melakukan korupsi, dan hukuman itu juga bisa menjadi tindakan preventif bagi orang lain. Menurut Abdul Qodir Audah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi, ketiganya pakar Hukum Pidana Islam, hukuman takzir bisa berbentuk hukuman paling ringan, seperti menegur pelaku pidana, mencela atau mempermalukan pelaku, dan bisa juga hukuman yang terberat, seperti hukuman mati. Nah, kalau kita melihat praktek korupsi yang sudah begitu membudaya dan mengakar di negeri kita ini, sudah selayaknya diberlakukan hukuman yang paling berat agar bisa memberikan efek jera, dan bisa memutus budaya korupsi yang sudah seperti lingkaran setan ini.

Keenam, penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu. Percuma saja hukum dibuat jika hanya untuk dilanggar. Bagaimana mungkin di negeri ini pencuri seekor ayam dan bahkan satu buah semangka dihukum penjara berbulan-bulan, sementara koruptor milyaran atau bahkan triliunan rupiah bisa bebas dari jeratan hukum? Hukum baru bisa berfungsi sebagai hukum jika diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Rasulullah saw bersabda,“Wahai manusia, ketahuilah bahwa kehancuran umat terdahulu adalah karena mereka tidak menegakkan hukum dengan adil. Jika yang mencuri – berperkara – dari golongan kuat dan terpandang, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri itu orang yang tidak punya, mereka secara tegas menegakkan hukumnya. Demi Allah, jika Fatimah putri Muhammad – anak beliau sendiri – mencuri, pasti saya potong tangannya.” (HR Bukhari)

Ketujuh, teladan dari para pemimpin.Orangtua dulu pernah berpesan ,“Jangan menyapu lantai, ketika masih membersihkan atap“. Bisa jadi pesan inilah yang perlu diamalkan oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas dengan watak masyarakat Indonesia yang masih cenderung paternalistik, menuntut pemberantasan korupsi dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian dan kesungguhan untuk itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi, bahkan dihilangkan. Ini juga sejalan dengan pepatah bijak yang artinya “manusia itu mengikuti agama pemimpin mereka”. Jika pemimpinnya bersih, yang dipimpin juga akan bersih atau setidaknya dapat diharapkan untuk menjadi bersih. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali ketika beliau pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara.


Kedelapan, kesadaran kolektif dan kontrol publik. Bagaimanapun juga, harus ada kesadaran kolektif seluruh rakyat negeri ini mengenai pemberantasan korupsi, karena penyakit ini sudah mewabah dengan hebat. Tidak cukup kesadaran ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Demikian pula, masyarakat harus secara aktif dan terus-menerus mengontrol para pejabat agar tidak melakukan korupsi. Dalam hal ini, peran media sangat penting, tanpa harus terkotori oleh berbagai manipulasi dan akrobat politik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah olahraga bola basket

Jenis-jenis iklim di dunia